Sketsa Teori
Sosiologi Mengenai Persepsi Seni
Penggambaran para ahli yang
menyumbangkan teori Sosiologi dalam
pembahasan ini lebih mengarah kepada Karya Seni, khususnya Seni Rupa. Persoalan
kondisi yang memungkinkan kita mengalami sebuah karya seni sebagai sesuatu yang
sarat makna, jelas tidak termasuk kedalam pengalaman itu sendiri karena
penangkapan kembali makna objektif suatu karya seni baru bisa berefek langsung
dan tepat jika budaya yang digunakan pencipta karya seni identik dengan budaya
atau lebih tepatnya kompetensi Artistik pengamat yang mengurai karya seni
tersebut. Di titik ini yang ada hanyalah soal rangkaian dan rentetan pertanyaan
tentang makna, tentang penguraian makna dan tentang kondisi-kondisi yang
membuat penguraian ini tidak bisa dilakukan
Apabila kondisi-kondisi spesifik ini
tidak terpenuhi, kesalapahaman menjadi tak terelakkan, ilusi tentang pemahaman
langsung akan menghasilkan pemahaman ilusif(keliru) karena didasarkan pada kode
yang salah, ketika seseorang tidak memiliki persepsi yang telah mengkodekan
karya seni dimana karya itu terkodekan dalam kode lain, maka dia secara tidak
sadar akan menerakpan kode yang dirasa tepat bagi persepsi biasa sehari-hari,
yang biasa dipakai dalam mengurai objek-objek biasa, kepada karya-karya yang
termasuk kedalam tradisi yang asing( tidak dikenal). Menurut teori semiotika
yang diungkapkan oleh Ferdinand de Saussure dalm karya seni harus memiliki
makna dari makna itu terdapat dua jenis yaitu tanda dan penanda, tanda adalah
pertautan antara penanda (signifie[prancis], signifies [inggris]) dan penanda
(significant [prancis], signifier [Inggris])[1]
didalam karya seni perlu sekali kita mengetahui sebuah makna agar dapat di
mengerti oleh semua orang.
Jadi tidak ada persepsi yang tidak
melibatkan penggunaan kode yang tidak disadari dan hal ini sangat penting untuk
membuang mitos yang meyakini pemahaman bergandengan dengan kepolosan dan
keluguan seolah kita bisa memahami suatu karya seni tanpa harus mengetahui minimal
secuil informasinya, salah satu alasan mengapa pengamat yang kurang terdidik di
masyarakat kita cenderung menuntut representasi yang sifatnya realis yaitu
tidak mengandung kategiri-kategori spesifik dalam mengunakan kode yang
membangun karya-karya budaya kaum terpelajar, selain hanya kode-kode yang
memungkinkan mereka memahami objek-objek bermakna di lingkungan mereka
sehari-hari. Tetapi memahami minim dan langsung semacam ini, yang dapat diakses
oleh pengamat paling sederhana dan memungkinkan mereka mengenali gambar tetentu
sebagai sebuah rumah atau sebatng pohontetap mengasumsikan kesepakatan kecil (
dan tidak disadari ) antara seniman dan pengamat mengenai apa saja kategori
yang menetukan sebuah representative kenyataan diterima ole masyarakat historis
sebagi sesuatu yang nyata.
Karya Seni mengandung beragam makna
di berbagai tingkatan sesuai dengan pengaplikasian jaring-jaring penguraian
atasnya. Makna yang paling rendah tingkatnya adalah yang paling superficial
terpotong-potong dan sering keliru diurai selama makna yang lebih tinggi
tingkatannya dengan membimbing dan mentransfigurasinya tidak hadir. Menurut
Panofsky, pengamat yang paling naïf pertama-tama membedakan “pokok soal atau
makna yang primer atau alamiah dari pengalaman-pengalaman praktis atau dengan
kata lain makna fenomenal dipilah-pilah menjadi makna factual dan makna
ekpresional.
Dalam sebuah
karya seni sangat diperlukan akan adanya nilai Estetika (keindahan karya seni)
guna mengetahui tingkat kualitas dari hasil karya seni itu sendiri. Teori-teori yang dikemukakan Herbert Read Teori Objektif dan
teori subjektif Teori Objektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang
menciptakan nilai estetik adalah sifat (kualitas) yang memang telah melekat
pada bentuk indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya.
Teori Subjektif menyatakan bahwa ciri – ciri yang menciptakan keindahan suatu
benda itu tidak ada, yang ada hanya perasaan dalam diri seseorang yang
mengamati sesuatu benda[2].
Teori atau konsep Yunani lama cenderung kepada konsep objektif, dimana
keindahan karya dapat dicapai apabila bagian-bagiannya dapat diatur secara
harmonis berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Perbandingan sebagai acuan yang
menetapkan standar keindahan karya, yang dapat menimbulkan perasaan puas untuk
sementara waktu. Sementara itu konsep seni Herbert Read dan Santayana berpegang
pada konsep modern yang beranggapan bahwa ”seni tidak selalu menyenangkan?”
Ideal keindahan dapat bervariasi dan sangat tergantung kepada ideal dari tata
nilai kehidupan. Keindahan adalah nilai (value) yang dibentuk cita rasa
perasaan manusia yang bersifat subjektif, sebagai tangapan emosional terhadap
kualitas bentuk suatu karya[3]
Teori obyektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang
menciptakan nilai estetika adalah (kwalitas)
yang memang telah melekat pada
benda indah yangbersangkutan, terlepas dari orang yang
mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat
indah yang sudah ada
pada sesuatu benda dan sama sekali
tidak berpengaruh untuk mengubahnya[4]. Yang menjadi persoalan
dalam teori ini ialah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda
menjadi indah atau
dianggap bernilai estetis.
Filsuf seni dewasa ini menjawab bahwa nilai estetis itu tercipta
dengan terpenuhi asas-asas tertentu
mengenai bentuk pada sesuatu benda
(khususnya karya seni
yangdiciptakan oleh seseorang).
Berlawanan dengan apa
yang dikemukakan oleh teori obyektif, teori
subyektif menyatakan bahwa
ciri-ciri yang menciptakan
keindahan pada sesuatu benda
sesungguhnya tidak ada. Yang ada
hanyalah tanggapan perasaan
dalam diri seseorang yang
mengamati sesuatu benda .
Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan
dari si pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa
sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini diartikan bahwa seseorang
pengamat memperoleh sesuatu pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap benda
itu.[5]
Didalam sebuah pertunjukan dari hasil karya seni sangat
memerlukan adanya kapitalis untuk memasarkan sebuah hasil karya itu sendiri. Didalam
berhubungan dengan dunia sosial, individu tidak terlepas dari interaksi dan
ruang sosial. Untuk memenuhi syarat atau penerimaan secara sosial, individu
harus mempunyai kapital dalam memenuhi interaksi dan ruang sosialnya dengan
orang lain. Kapital menurut Bourdieu terdiri dari ekonomi, sosial, budaya,
simbolik. Bagi seorang intelektual publik harus mempunyai habitus yang baik
dengan membaca buku, agar mendapatkan kapital budaya (pengetahuan dan diskusi)
yang baik pula. Dengan mempunyai habitus dalam pertunjukan seni dan kapital
budaya, seorang intelektual publik bisa bersaing dan bertahan di ranah
pementasan. Ranah adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya berbagai
jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolis) digunakan dan dimanfaatkan[6].
Dalam kaitan dengan kapitalisme ini produksi cultural sangat
berperan penting. Produksi kultural, yang termasuk di dalamnya adalah seni
sebagai objek kultural, berbeda dari produksi objek-objek pada umumnya, karena
di dalamnya kebudayaan harus memproduksi bukan hanya objek dalam dimensi
materialitasnya, namun juga nilai dari objek tersebut, yakni pengakuan terhadap
legitimasi artistiknya. Produksi kultural, dengan demikian,
tidak bisa dipisahkan dari produksi seniman sebagai pencipta nilai (Bourdieu,
2010: 216).
Ringkasnya, dalam arena produksi
kultural terdapat tiga produksi yang diproduksi, yaitu objek material
(lukisan/sastra dengan segala kualitas terindranya), pencipta (dengan segala
latar historis serta arena kulturalnya sendiri), dan nilai-nilai legitimasi
yang ada di dalam (dan di regangan) objek akibat status penciptanya dan
kekuatan luar. Kekuatan luar yang saya maksudkan ialah kritikus/kurator sebagai
pengkaji; institusi pedagogis sebagai peletak hukum-hukum; lembaga-lembaga seni
sebagai wadah (kawan sekaligus lawan) bagi para seniman; dan museum sebagai
wadah legitimasi objek, yang kesemuanya memiliki kemampuan legitimasi di arena
seni (dan arena kekuasaan secara tidak langsung)[7].
Berdasar hal-hal di atas, maka ada beberapa term yang perlu
kita kuasai. Pertama, arena kekuasaan yang
mendominasi arena seni. Arena adalah ruang yang terstruktur dengan
kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi kekuasaannya sendiri yang
melingkupi berbagai arena seperti politik, ekonomi, kultural, dan seterusnya
(Bourdieu, 2010: xvii). Setiap arena memiliki otonominya sendiri yang relatif,
dan saling terkait satu sama lain. Keterkaitan antararena menimbulkan
arena-arena terdominasi dan mendominasi karena perubahan posisi-posisi agen di
dalamnya selalu memberikan kemungkinan pergeseran kekuasaan arena, sehingga
lahir suatu arena kekuasaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Jakobson. 2004.
Teori Semiotika.(terjemahan Priyono dari Ferdinan de Saussure 1960) Kreasi
Wacana. Yogyakarta
Kartika, dharsono sony(2007).ESTETIKA.
Bandung:rekayasa Sains
Ritzer & Goodman. Teori
Sosiologi Klasik – Post Modern Edisi Terbaru (Trans: Nurhadi). Yogyakarta:
Kreasi Wacana. 2012
Bourdieu,
Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural:
Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Bantul: Kreasi Wacana
[1]
Jakobson. 2004. Teori Semiotika.(terjemahan Priyono dari Ferdinan de Saussure
1960) Kreasi Wacana. Yogyakarta, hlm. 356
[2]
Kartika, Dharsono Sony(2007).ESTETIKA. Bandung: rekayasa Sains.
Hlm.98
[3]
Ibid
[4]
Ibid
[5]
Ibid
[6]
Ritzer & Goodman. 2012. Teori Sosiologi Klasik – Post Modern Edisi
Terbaru (Trans: Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hlm: 581
[7] Bourdieu,
Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural:
Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Bantul: Kreasi Wacana. Hlm 84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar