Entri Populer

Entri Populer

Jumat, 07 April 2017

Sketsa Teori Sosiologi Mengenai Persepsi Seni



Sketsa Teori Sosiologi Mengenai Persepsi Seni

            Penggambaran para ahli yang menyumbangkan teori  Sosiologi dalam pembahasan ini lebih mengarah kepada Karya Seni, khususnya Seni Rupa. Persoalan kondisi yang memungkinkan kita mengalami sebuah karya seni sebagai sesuatu yang sarat makna, jelas tidak termasuk kedalam pengalaman itu sendiri karena penangkapan kembali makna objektif suatu karya seni baru bisa berefek langsung dan tepat jika budaya yang digunakan pencipta karya seni identik dengan budaya atau lebih tepatnya kompetensi Artistik pengamat yang mengurai karya seni tersebut. Di titik ini yang ada hanyalah soal rangkaian dan rentetan pertanyaan tentang makna, tentang penguraian makna dan tentang kondisi-kondisi yang membuat penguraian ini tidak bisa dilakukan
            Apabila kondisi-kondisi spesifik ini tidak terpenuhi, kesalapahaman menjadi tak terelakkan, ilusi tentang pemahaman langsung akan menghasilkan pemahaman ilusif(keliru) karena didasarkan pada kode yang salah, ketika seseorang tidak memiliki persepsi yang telah mengkodekan karya seni dimana karya itu terkodekan dalam kode lain, maka dia secara tidak sadar akan menerakpan kode yang dirasa tepat bagi persepsi biasa sehari-hari, yang biasa dipakai dalam mengurai objek-objek biasa, kepada karya-karya yang termasuk kedalam tradisi yang asing( tidak dikenal). Menurut teori semiotika yang diungkapkan oleh Ferdinand de Saussure dalm karya seni harus memiliki makna dari makna itu terdapat dua jenis yaitu tanda dan penanda, tanda adalah pertautan antara penanda (signifie[prancis], signifies [inggris]) dan penanda (significant [prancis], signifier [Inggris])[1] didalam karya seni perlu sekali kita mengetahui sebuah makna agar dapat di mengerti oleh semua orang.
            Jadi tidak ada persepsi yang tidak melibatkan penggunaan kode yang tidak disadari dan hal ini sangat penting untuk membuang mitos yang meyakini pemahaman bergandengan dengan kepolosan dan keluguan seolah kita bisa memahami suatu karya seni tanpa harus mengetahui minimal secuil informasinya, salah satu alasan mengapa pengamat yang kurang terdidik di masyarakat kita cenderung menuntut representasi yang sifatnya realis yaitu tidak mengandung kategiri-kategori spesifik dalam mengunakan kode yang membangun karya-karya budaya kaum terpelajar, selain hanya kode-kode yang memungkinkan mereka memahami objek-objek bermakna di lingkungan mereka sehari-hari. Tetapi memahami minim dan langsung semacam ini, yang dapat diakses oleh pengamat paling sederhana dan memungkinkan mereka mengenali gambar tetentu sebagai sebuah rumah atau sebatng pohontetap mengasumsikan kesepakatan kecil ( dan tidak disadari ) antara seniman dan pengamat mengenai apa saja kategori yang menetukan sebuah representative kenyataan diterima ole masyarakat historis sebagi sesuatu yang nyata.
            Karya Seni mengandung beragam makna di berbagai tingkatan sesuai dengan pengaplikasian jaring-jaring penguraian atasnya. Makna yang paling rendah tingkatnya adalah yang paling superficial terpotong-potong dan sering keliru diurai selama makna yang lebih tinggi tingkatannya dengan membimbing dan mentransfigurasinya tidak hadir. Menurut Panofsky, pengamat yang paling naïf pertama-tama membedakan “pokok soal atau makna yang primer atau alamiah dari pengalaman-pengalaman praktis atau dengan kata lain makna fenomenal dipilah-pilah menjadi makna factual dan makna ekpresional.
                  Dalam sebuah karya seni sangat diperlukan akan adanya nilai Estetika (keindahan karya seni) guna mengetahui tingkat kualitas dari hasil karya seni itu sendiri.  Teori-teori yang dikemukakan Herbert Read Teori Objektif dan teori subjektif Teori Objektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetik adalah sifat (kualitas) yang memang telah melekat pada bentuk indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Teori Subjektif menyatakan bahwa ciri – ciri yang menciptakan keindahan suatu benda itu tidak ada, yang ada hanya perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda[2]. Teori atau konsep Yunani lama cenderung kepada konsep objektif, dimana keindahan karya dapat dicapai apabila bagian-bagiannya dapat diatur secara harmonis berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Perbandingan sebagai acuan yang menetapkan standar keindahan karya, yang dapat menimbulkan perasaan puas untuk sementara waktu. Sementara itu konsep seni Herbert Read dan Santayana berpegang pada konsep modern yang beranggapan bahwa ”seni tidak selalu menyenangkan?” Ideal keindahan dapat bervariasi dan sangat tergantung kepada ideal dari tata nilai kehidupan. Keindahan adalah nilai (value) yang dibentuk cita rasa perasaan manusia yang bersifat subjektif, sebagai tangapan emosional terhadap kualitas bentuk suatu karya[3]
Teori obyektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetika  adalah  (kwalitas)  yang memang telah  melekat  pada  benda  indah  yangbersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan  atau menyingkapkan  sifat-sifat  indah  yang sudah  ada  pada  sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya[4]. Yang menjadi persoalan dalam teori ini ialah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis.
Filsuf seni dewasa ini menjawab bahwa nilai estetis itu tercipta dengan terpenuhi asas-asas  tertentu mengenai  bentuk pada  sesuatu benda  (khususnya  karya  seni  yangdiciptakan  oleh  seseorang).  Berlawanan  dengan  apa  yang dikemukakan  oleh  teori obyektif,  teori  subyektif  menyatakan  bahwa  ciri-ciri  yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda  sesungguhnya  tidak ada.  Yang ada  hanyalah  tanggapan  perasaan  dalam diri  seseorang yang mengamati  sesuatu benda  .  Adanya  keindahan  semata-mata tergantung pada  pencerapan  dari  si  pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh sesuatu pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap benda itu.[5]
Didalam sebuah pertunjukan dari hasil karya seni sangat memerlukan adanya kapitalis untuk memasarkan sebuah hasil karya itu sendiri. Didalam berhubungan dengan dunia sosial, individu tidak terlepas dari interaksi dan ruang sosial. Untuk memenuhi syarat atau penerimaan secara sosial, individu harus mempunyai kapital dalam memenuhi interaksi dan ruang sosialnya dengan orang lain. Kapital menurut Bourdieu terdiri dari ekonomi, sosial, budaya, simbolik. Bagi seorang intelektual publik harus mempunyai habitus yang baik dengan membaca buku, agar mendapatkan kapital budaya (pengetahuan dan diskusi) yang baik pula. Dengan mempunyai habitus dalam pertunjukan seni dan kapital budaya, seorang intelektual publik bisa bersaing dan bertahan di ranah pementasan. Ranah adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolis) digunakan dan dimanfaatkan[6].
Dalam kaitan dengan kapitalisme ini produksi cultural sangat berperan penting. Produksi kultural, yang termasuk di dalamnya adalah seni sebagai objek kultural, berbeda dari produksi objek-objek pada umumnya, karena di dalamnya kebudayaan harus memproduksi bukan hanya objek dalam dimensi materialitasnya, namun juga nilai dari objek tersebut, yakni pengakuan terhadap legitimasi artistiknya. Produksi kultural, dengan demikian, tidak bisa dipisahkan dari produksi seniman sebagai pencipta nilai (Bourdieu, 2010: 216).
Ringkasnya, dalam arena produksi kultural terdapat tiga produksi yang diproduksi, yaitu objek material (lukisan/sastra dengan segala kualitas terindranya), pencipta (dengan segala latar historis serta arena kulturalnya sendiri), dan nilai-nilai legitimasi yang ada di dalam (dan di regangan) objek akibat status penciptanya dan kekuatan luar. Kekuatan luar yang saya maksudkan ialah kritikus/kurator sebagai pengkaji; institusi pedagogis sebagai peletak hukum-hukum; lembaga-lembaga seni sebagai wadah (kawan sekaligus lawan) bagi para seniman; dan museum sebagai wadah legitimasi objek, yang kesemuanya memiliki kemampuan legitimasi di arena seni (dan arena kekuasaan secara tidak langsung)[7].
Berdasar hal-hal di atas, maka ada beberapa term yang perlu kita kuasai. Pertama, arena kekuasaan yang mendominasi arena seni. Arena adalah ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi kekuasaannya sendiri yang melingkupi berbagai arena seperti politik, ekonomi, kultural, dan seterusnya (Bourdieu, 2010: xvii). Setiap arena memiliki otonominya sendiri yang relatif, dan saling terkait satu sama lain. Keterkaitan antararena menimbulkan arena-arena terdominasi dan mendominasi karena perubahan posisi-posisi agen di dalamnya selalu memberikan kemungkinan pergeseran kekuasaan arena, sehingga lahir suatu arena kekuasaan.

DAFTAR PUSTAKA

Jakobson. 2004. Teori Semiotika.(terjemahan Priyono dari Ferdinan de Saussure 1960) Kreasi Wacana. Yogyakarta
Kartika, dharsono sony(2007).ESTETIKA. Bandung:rekayasa Sains
Ritzer & Goodman. Teori Sosiologi Klasik – Post Modern Edisi Terbaru (Trans: Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2012
Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Bantul: Kreasi Wacana


[1] Jakobson. 2004. Teori Semiotika.(terjemahan Priyono dari Ferdinan de Saussure 1960) Kreasi Wacana. Yogyakarta, hlm. 356
[2] Kartika, Dharsono Sony(2007).ESTETIKA. Bandung: rekayasa Sains. Hlm.98
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ritzer & Goodman. 2012.  Teori Sosiologi Klasik – Post Modern Edisi Terbaru (Trans: Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.  Hlm: 581
[7] Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Bantul: Kreasi Wacana. Hlm 84

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Gabung TOMASJEK

Cara mendownload TOMASJEK: Silahkan masuk di Play Store lalu kemudian ketik TOMASJEK di pencarian setelah itu tekan instal dan tung...