PENDAHULUAN
Budaya secara umum adalah suatu kebiasaan bagi semua orang yang
tergabung dalam kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan tradisi-tradisi
dalam jangka waktu yang sangat lama. Kebudayaan Mangrara Tongkonan atau
syukuran atas selesainya rumah adat tongkonan merupakan suatu perayaan dimana
setiap keluarga yang berasal dari satu garis keturunan mengadakan pertemuan
bersama dengan tujuan mereka dapat mengenal satu dengan yang lain dan kembali
mempererat hubungan keluarga yang suda jauh. Dari kebudayaan ini terdapat nilai
seni yang akan dibahas.
Dari
perayaan Mangrara Tongkonan ini penulis akan membahasnya dengan menggunakan
perspektif Bourdieu yaitu melalui Praksis, Habitus, Arena, Kekerasan simbolis
dan Reproduksi Sosial. Dalam
upaya mencari relasi antara struktur obyektif yaitu kebudayaan dan agen yaitu
individu, Pierre Bourdieu memproposisikan sebuah teori bagi analisis dialektik
kehidupan praksis. Dua alat konseptual yang digunakan oleh Bourdieu adalah
habitus dan arena yang ditopang oleh konsep tentang kekerasan simbolik dan
Reproduksi Sosial, strategi dan perjuangan untuk mencapai kekuasaan simbolik
dan material melalui beragam kapital yaitu ekonomi, budaya dan simbolik.
PEMBAHASAN
Nilai
Estetika
Model sebuah
rumah Tongkonan senantiasa mengikuti model desa, secara konsepsional harus
bersegi empat. Struktur ruangan mengikut struktur makro-kosmos yang terdiri
dari tiga lapisan benua, yakni bagian atas (Rattiangbanua), bagian tengah (kale
banua) dan bagian bawah (Sulluk banua). Bagian atas digunakan sebagai tempat
menyimpan benda-benda pusaka yang dianggap mempunyai nilai sacral seperti
keris, parang, dan jimat.benda seperti ini disakralkan karena dipercaya untuk
melindungi penghuni tongkonan dari gangguan apapun. Atap Tongkonan terbuat dari bambu-bambu
pilihan yang disusun tumpang tindih, dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat
oleh tali bambu/rotan. Bamboo dianggap tahan lama dari semua bahan yang ada,
karena zaman dulu juga belum memiliki atap seng akhirnya bamboo yang daji
pilihan, dari susunan bamboo ini mebuat tongkonan lebih indah keliatan dan
rapi. Fungsi dan susunan demikian untuk mencegah masuknya air hujan melalui
celah-celah, dan sebagai lubang ventilasi. Susunan bambu ditaruh di atas kaso
yang terdapat pada rangka atap. Susunan tarampak minimal 3 lapis, maksimal 7
lapis, arti dari susunan tiga sampai tujuh lapis adalah supaya keluarga bisa
mengenal nenek moyangnya dari generasi ke tiga sampai generasi ke tujuh.
setelah itu disusun hingga membentuk seperti perahu. Bagian tengah digunakan
untuk tempat tinggal dan melakukan aktivitas di dalam rumah. Bagian tengah yang
merupakan badan rumah ini berlantaikan papan kayu uru yang disusun di atas
pembalokan lantai, memanjang sejajar balok utama. Dindingnya disusun dengan
sambungan pada sisi-sisi papan. Dinding yang berfungsi sebagai rangka dinding
yang memikul beban, terbuat dari bahan kayu uru atau kayu kecapi. Bagian tengah
sebagai ruang tempat tinggal, dibagi pula atas tiga bilik yaitu bilik bagian
depan disebut Tando', berfungsi sebagai tempat beristirahat, tempat tidur
nenek, kakak dan anak laki-laki serta tempat mengadakan sesajen. Jendela pada
ruang Tangdo berjumlah 2 buah, menghadap ke utara dan menan dakan bahwa orang
toraja asalnya dari china yaitu dari sebelah utara tana toraja. Bagian tengah
disebut Sali dibagi lagi menjadi dua bagian, yakni bagian timur tempat kegiatan
sehari-hari dan sebagai dapur, ruang menerima tamu, ruang keluarga, dan kamar
mandi. Di bagian barat digunakan tempat persemayaman jenazah pada waktu
diadakan upacara kematian.
Bagian
belakang disebut Sumbung yang digunakan sebagai tempat pengabdian dan tempat
tidur kepala keluarga bersama anak-anak, khususnya anak gadis, serta untuk
menyimpan benda-benda pusaka. Lantainya ditinggikan pertanda bahwa penghuni
Tongkonan mempunyai kekuasaan dan derajat yang tinggi. Sumbung ini berada di
bagian selatan, maksudnya anak-anak gadis dan anak kecil memerlukan pengawasan
ketat, dengan perlindungan dari anak-anak laki-laki yang bertempat di ruang
Tando. Bagian bawah yang merupakan kolong rumah merupakan tempat hewan
peliharaan. Fondasinya menggunakan batuan gunung, diletakkan bebas di bawah
Tongkonan, tanpa pengikat antara tanah, kolong dan fondasi itu sendiri. Secara
umum tongkonan memiliki estetika tinggi seperti dari ukiran yang ada di dinding
tongkonan.
Tongkonan
dapat dilihat sebagai produk yang menampilkan nilai-nilai estetik, dengan
bentuknya yang anggun disertai kekayaan ragam hias yang mengandung makna yang
terkait dengan sistem budaya. Pada mulanya, orang Toraja hanya mengenal empat
macam ukiran yang disebut Garonto Passura artinya dasar ukiran, antara lain
pa'barre allo yaitu ukiran yang menyerupai matahari atau bulan, benda yang
mulia di atas bumi berasal dari Sang Pencipta yang memberi hidup dan kehidupan
bagi umatNya: pa' tedong ukiran yang menyerupai kepala kerbau, ukiran ini
sebagai lambang kerja keras dan kemakmuran, oleh karenanya diletakkan pada
tiang-tiang yang berdiri tegak sebagai tulang punggung bangunan, yang berarti
bekerja adalah tulang punggung kehidupan; pa' manuk londong ukiran yang menyerupai
ayam jantan, sebagai lambang dari norma, aturan yang berasal dari langit yang
menata kehidupan manusia. Bersama-sama Pa'barre allo diletakkan di atas bagian
depan Tongkonan, dan pa' sussuk yaitu ukiran yang menyerupai garis-garis lurus,
sebagai lambang kebersamaan dan kesatuan dalam lingkup kerabat yang tergabung
dalam kelompok Tongkonan. Ukiran ini diletakkan pada dinding bagian atas yang
menghiasi ruangan. Selain motif-motif utama tersebut, ada pula motif lain yang
juga memiliki makna. Motif pa'daun balu adalah daun sirih yang merupakan
lambang penghormatan kepada dewa-dewa. Sirih dikalangan toraja dipercaya
memiliki fungsi untuk terhindar dari penyakit dan juga berfungsi untuk
menghindari sakit gigi. Motif pa' bua tina adalah lambang pohon waru yang
merupakan hiasan dinding rumah sebagai lambang persatuan dalam keluarga. Pohon
atau kayu menjadi bahan dari dari pembuatan tongkonan. Pa'sala'bi' dibungai
berarti 'pagar' yang biasanya terdapat pada dinding dan pagar rumah bangsawan.
Motif ini mengandung arti sebagai penangkal masuknya orang jahat dan mencegah
penyakit sampar. Motif Pa' bunga menyerupai bunga yang melambangkan pentingnya
pengetahuan bagi manusia. Pa' kangkung adalah ukiran yang menyerupai pucuk
kangkung menghiasi rumah bangsawan, motif yang mengandung harapan agar
senantiasa memperoleh rejeki sebagaimana kangkung yang selalu tumbuh subur di
tempat berair. Pa' erong berarti peti mayat yang hanya digunakan untuk peti
mayat keluarga bangsawan, yang menaruh harapan agar yang meninggal senantiasa
memberi berkah kepada keluarga yang ditinggalkan. Pa 'bunga kaliki simbol bunga
pepaya yang bermakna agar nasehat yang menyakitkan pun dapat membawa kebaikan
dalam hidup. Pa' sisik bale lambang sisik ikan agar cita-cita yang tinggi dapat
tercapai. Pa'kollong buku melambangkan leher merpati yang bermakna agar manusia
dapat hidup bebas menentukan pilihannya. Motif Koyo adalah burung bangau
lambang manusia yang penyabar. Pa'dara dena berarti dada burung pipit lambang
keteguhan hati dan pendirian yang tetap.
Dari semua
ukiran ini jika disatukan akan menjadi ukuran yang indah dan fungsinya
memperindah tongkonan agar orang yang tinggal didalamnya merasakan sebuah
kenyamanan, melihat situasi iklim di toraja yaitu daerah dingin untuk itu rumah
tongkonan dibuat seakan-akan ruangannya keliata sesak, hanya duah jendelah yang
ada. orang toraja percaya bahwa rumah tongkonan ini tempat dimana kita bisa
merasakan kehangatan ketika tinggal didalamnya karena angin tidak terlalu
banyak masuk dalam tongkonan.
Pandangan Bourdieu terhadap
Mangrara Tongkonan
1. Praksis
Melihat
situasi dalam perayaan Mangrara Tongkonan banyak orang toraja secara tidak sadar mengalami praksis dalam pelaksanaan
ini, mereka dari dalam hati sudah terdorong untuk membawah sesuatu yang terbaik
untuk dipersembahkan atau di korbankan. Ada hal terpenting ketika ada tamu yang
membawa korban persembahan berupa babi dan kerbau, secara tidak sadar bagi yang
melaksanakan perayaan ini, telah memiliki hutang yang mereka harus bayarkan
nantinya. Melihat dari kacamata Bourdieu hal ini adalah sah namun ketika kita
memahami tentang praksis yang terjadi dalam budaya ini secara tidak sadar bahwa
mereka ingin menunjukkan bahwa dalam perayaan mangrara tongkonan keluarga
inilah yang terbaik dari kerabat yang lainnya Dari situasi ini menimbulkan
sebuah kesan bahwa melalui pemotongan Kerbau dan Babi yang sebanyak mungkin
mereka dapat diakui statusnya dalam masyarakat. Sebenarnya proses perayaan ini
menunjukkan adanya kegengsian dari kebarabat atau anggota keluarga yang mengadakan
perayaan mangrara Tongkonan itu sendiri, untuk itu ada perasaan untuk
membanggakan diri tetapi disisi lain memberikan sebuah nilai yang baik bahwa
lewat perayaan mangrara Tongkonan dapat mempererat tali persaudaraan, sekalipun keluarga yang jauh dapat kembali bisa mengetahui garis
keturunannya sampai nenek moyang dari tingkat ke-7. Keadaan ini yang mempererat
hubungan kekerabatan orang toraja.
Upacara
Mangrara Banua berfungsi untuk meresmikan rumah (Tongkonan) sebelum ditinggali.
Dimulai oleh sambutan dari pemuka adat, upacara dilanjutkan dengan tari-tarian
oleh para wanita Toraja yang diiringi dengan tabuhan gendang. Para penonton
dari berbagai kalangan baik turis domestik maupun mancanegara pun tak berdiam
diri. Mereka ikut menari untuk memeriahkan upacara Mangrara Buana ini. Tarian
yang disebut dengan Tari Pagelu ini memang menjadi keriuhan tersendiri dalam
upacara Mangrara Banua. Selain sebagai ungkapan syukur serta memohon agar
Tongkonan diberikan berkah dan terhindar dari malapetaka, tarian Pagelu juga
memiliki kisah tersendiri, dari tarian ini lewat gerakan tubuh dapat
menunjukkan tentang kelas social dalam masyarakat, pada zaman dudlu ketika
lewat gerakan tarian yang menyampaikan kegembiraan atas terlaksana sebuah
perayaan tertentu. Ketika tangan di ayunkan keatas dan perlahan-lahan diturun
kebawah itu menunjukkan pemberian berkat dari kelas menenga keatas kepada kelas
bawah. jadi mereka menari tidak sembarang menari, pengiring yang digunakan
yaitu alat music gendang yang dimainkan oleh tiga laki-laki dan setiap ketukan
mengasilkan bunyi yang selaras dan indah di dengar membuat para penari lebih
bersemangat dalam memperagakan gerakannya. tarian juga dalam perayaan Mangrara
tongkonan sangat berperan penting sebagai alat untuk memberikan informasi
kepada masyarakat tentang strata social dalam masyarakat, orang- orang yang
duduk didalam Alang( lumbung ) dapat ma’toding ( memberikan saweran).
Masyarakat yang menonton juga biasanya memberikan saweran dengan menyelipan
sejumlah uang di rambut penari. Hasil saweran biasanya dikumpulkan untuk
digunakan bagi keperluan adat.
2. Habitus
Melihat ke
pemikiran Bourdieu tentang habitus didalam perayaan Mangrara Tongkonan
sebenarnya yang mau di munculkan adalah keberadaan keluarga sebagai kelas
social yang patut di hormati, ini menunjukkan betapa pentingnya tari-tarian
dalam perayaan ini. Habitus juga sangat berperan penting untuk dapat memisahkan
kelas social dalam masyarakat toraja oleh karena kita bisa mengamati sendiri
sebagai pengkondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu
kelas. Disisi lain habitus memberikan kontribusi dengan kekerabatan dalam
keluarga, mempererat tali persaudaraan seakan ada keterkaitan batin dalam
keluarga itu sendiri.
3. Arena
Arena
Upacara pun mencapai puncaknya dengan acara penyembelihan hewan sebagai
pelengkap peresmian Tongkonan. Hewan-hewan yang disembelih biasanya berupa babi
ataupun kerbau. Hewan-hewan tersebut dimasukan kedalam usungan bambu dan segera
dibawa ke tengah arena upacara. Setelah dipotong, hewan-hewan tadi pun dibakar.
Upacara pun diakhiri dengan makan bersama masyarakat sekitar seraya berdoa demi
keselamatan Tongkonan serta penghuninya.
Arena dalam Upacara Mangrara Banua Tongkonan
memang menjadi sesuatu yang menarik dan selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat
sekitar dan masyarakat luar Toraja. Sebagai salah satu kebudayaan Indonesia,
Upacara Mangrara Banua ini terus dipertahankan oleh masyarakat Tana Toraja. Hal
ini merupakan juga sebagai bentuk penghormatan mereka terhadap para leluhur.
Kalau kita melihat dari pemikiran Bourdieu Dunia sosial terbagi dalam beberapa arena atau ranah atau
wilayah yang berbeda satu sama lain. Artinya masing-masing arena degerakkan
oleh mekanisme yang khas atau berbeda satu sama lain dari dalam tubuhnya, namun
arena-arena saling mempengaruhi satu sama lain. Arena, menurut Bourdieu, adalah
wilayah terbatas yang di dalamnya terdapat perjuangan atau manuver yang
memperebutkan sember atau pertaruhan dan akses terbatas. Arena adalah taruhan
yang dipertaruhkan seperti gaya hidup, perumahan, pekerjaan, kekuasaan
(politik), intelektual, kelas sosial, ekonomi, prestise. Arena dapat juga
diartikan sebagai sebuah permainan dimana di dalamnya capital dan habitus harus
bermain. Arena menjadi penentu capital dan berlakunya sebuah habitus. Setelah
melihat pemikiran Bourdieu sungguh menjadi hal menarik kita lihat dalam
perayaan Mangrara Tongkonan, kerbau dan babi yang di sembelih menjadi pertarungan
yang luar biasa, keluarga yang mengadakan perayaan ini tidak pikir panjang
untuk memberikan yang terbaik dan disini terjadi pertarungan antara keluarga
dalam satu rumpun itu sendiri. Persaingan terjadi dan untuk mengetahui
persembahan siapa yang lebih baik, diadakanlah arena atau pertarungan antar
kerbau, disini juga banyak orang toraja menjadikan ajang ini sebagai
pertarungan untuk main judi, tak tanggung-tanggung mereka mengeluarkan uang
yang tidak sedikit jumlah dalam menentukan kerbau siapa yang layak di katakan
sebagai yang terbaik. Dan menjadi sesuatu yang menarik ketika kerbau yang
menang dalam pertarungan ini tidak jadi disembeli tapi akan dijual karena nilai
ekonominya akan mahal dan hasil dari penjualan itu akan digunakan untuk
keperluan dalam Tongkonan itu sendiri.
Melihat dari pandangan Bourdieu Arena seperti ini menjadi
permainan yang menarik terhadap budaya tertentu seperti budaya toraja, tetapi
kalau dari kacamata kita, arena ini adalah hal yang dapat menimbulkan perpecahan
oleh karena didalamnya terjadi permainan judi, dan permainan judi sendiri itu
rentan dengan konflik, orang toraja percaya bahwa judi merupakan warisan nenek
moyang mereka dan akan membawah kepada kekayaan secara mudah tetapi dilain
sisih akan membuat mereka jatuh miskin tapi mereka memercayai bahwa itu yang
ditakdirkan Tuhan untuk mereka .arena seperti ini juga secara tidak langsung
sudah mendidik generasi mudah untuk melakukan hal yang sama, seperti terbiasa dalam
permainan judi dan lain-lain, dan hal ini berakibat pada kekerasan simbolik dan
reproduksi social.
- Kekerasan simbolik dan reproduksi sosial
Landasan teoretis atas perbedaan kelas dalam status
social di masyarakat toraja dalam acara
perayaan Mangrara Tongkonan akan menggunakan teori kekerasan simbolis dan reproduksi
sosial yang dikemukakan Pierre Bourdieu. Asumsi dasar Bourdieu tentang
kekerasan simbolis adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya
kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal ini
dialami sebagai sesuatu yang sah. Legitimasinya meneguhkan relasi kekuasaan
yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Selama dia diterima sebagai
sesuatu yang sah, kebudayaan memperkuat dirinya melalui relasi kekuasaan
tersebut, memberikan kontribusi kepada reproduksi sistematis mereka.
Dalam masyarakat
toraja, mereka yang status sosialnya rendah tidak menyadari bahwa sesuatu yang
terjadi pada mereka merupakan kekerasan simbolis karena selama ini diterima
sebagai sesuatu yang sah. Kondisi seperti ini Bourdieu menyebutnya dengan
istilah habitus. Secara sederhana habitus mengacu pada kondisi situasi
yang tipikal dan habitual. Haryatmoko (2003) menjelaskan bahwa habitus merupakan
hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari)
yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah
dan berkembang dalam suatu lingkup social tertentu. Haryatmoko (2003)
menjelaskan pemikiran Bourdieu bahwa dominasi kaum bangsawan sebenarnya
merupakan kekerasan yang disebut kekerasan simbolik. Kekerasan ini bahkan kelihatan atau dirasakan sebagai kekerasan
simbolis, hanya saja dianggap sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar. Perlu
untuk diketahui bahwa terjadinya perbedaan strata social ini oleh karena
pemegang modal atau orang yang memiliki harta yang banyak ketika zaman mereka
seperti memiliki tana, hewan peliharaan (kerbau,babi dll) memiutangi kelas pekerja
( kebun, sawah dll.) oleh karena kelas pekerja ini tidak bisa membayar
hutangnya akhirnya mereka mengabdikan hidupnya kepada pemegang modal itu,
setiap pekerjaan apapun mereka harus lakukan tanpa harus membanta, disinilah
terjadi kekerasan simbolik tetapi masyarakat saat itu menganggapnya sah.
Akibat dari kejadian
seperti ini membuat masyarakat toraja yang sebenarnya hidupnya sudah mapan atau
memiliki modal atau kekayaan yang sama dengan pemegang modal yang duluhnya
menguasai hidup nenek moyang mereka bahkan sudah melebihi kekayaan dari tuannya
tetapi tetap saja tidak berubah status atau strata sosialnya dalam masyarakat
toraja. Terjadinya Reproduksi social ketika Kejadian inipun terbawah kedalam
perayaan Mangrara Tongkonan, mereka yang berasal dari kelas hambah ini meskipun
sudah memiliki segalanya melalui kekayaan mereka tetapi tradisi yang terjadi sampai saat ini adalah mereka tidak diperkenankan untuk duduk
di atas lumbung. Lumbung adalah tempat dimana keturunan bangsawan boleh duduk
diatasnya, sekalipun kelas keturunan bansawan saat ini memiliki ekonomi yang pas-pasan saja,
Tetapi eksistensinya sebagai keturunan bangsawan tidak berubah. Didalam
Kekerasan simbolik dan reproduksi social ini berperan penting bagi keturunan
bangsawan untuk menjalankan apa yang mereka inginkan dalam perayaan mangrara
Tongkonan, dengan status yang mereka miliki memunculkan sikap bangga diri atau
sombong terhadapa masyarakat yang ada disekitar mereka.
Menurut Bourdieu disini
secara tidak langsung terjadi kekerasan simbolis dan reproduksi sosial dimana
keturunan hambah tidak bisa menaikkan derajat mereka atau menyetarahkan
kehidupan mereka seperti keturunan bangsawan atau pemilik modal. Dan apapun
yang terjadi mereka harus mematuhi peraturan yang kasat mata peraturannya tidak
kelihatan tetapi hanya bisa dirasakan. Modal simbolik adalah setiap spesis modal yang dipandang
melalui skema klasifikasi, yang ditanamkan secara sosial. Ketika keturunan
bangsawan ditoraja atau pemilik modal simbolik dan penguasa menggunakan kekuatannya,
ini akan berhadapan dengan agen yang memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena
itu si agen berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Maka, hal ini menunjukkan
terjadinya kekerasan simbolik (symbolic violence). Kekerasan simbolik pada
dasarnya adalah pemaksaan kategori-kategori pemikiran dan persepsi terhadap
agen-agen sosial terdominasi, yang kemudian menganggap tatanan sosial itu
sebagai sesuatu yang adil. Ini adalah penggabungan struktur tak sadar, yang
cenderung mengulang struktur-struktur tindakan dari pihak yang dominan.
Kesimpulan
Dalam
kehidupan masyarakat toraja, sangat kental dengan keadaan seperti yang
disampaikan Bordieu lewat teori yang disampainya. Melalui praksis itu sendiri
secara tidak langsung lewat mangrara tongkonan, suatu keluarga di toraja ingin
memperlihatkan kekayaan lewat banyaknya hewan yang disembeli. Habitus juga
memperlihatkan bagaimana orang toraja itu masi tetap dalam status mereka
melalui strata social mereka. Mrerka ingin di hormati dengan keadaan strata
social mereka. Seperti praksis arena juga memperlihatkan bahwa orang toraja
ingin menunjukkan kekayaan mereka lewat menyembeli hewan yang banyak dan juga
biasa dilihat dari keindahan rumah tongkonan yang dirayakan( disyukuri)
Dalam
budaya mangrara tongkonan Pihak yang terdominasi kemudian memandang posisi
pihak yang dominan ini sebagai yang benar ini menimbulkan kekerasan simbolik.
Kekerasan simbolik dalam arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan
fisik, karena kekerasan simbolik itu melekat dalam setiap bentuk tindakan dan
struktur kognisi individual, dan memaksakan momok legitimasi pada tatanan
social dan hal ini tidak akan hilang dari tatanan budaya mangrara tongkonan.
Namun dari
semua pandangan Bourdiue satu hal yang dapat diteladani dari kehidupan orang
toraja terlebih khusus dalam mangrara tongkonan adalah ada kerja sama, gotong
royong, tolong menolong, saling menghormati satu sama lain dan juga antar
kelompok..
DAFTAR PUSTAKA
Jenkins,
Richard. 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. (terjemahan Nurhadi dari
Pierre Bourdieu, 1992). Kreasi Wacana. Yogjakarta.
Pierre Bourdieu
“Teori Sosial Berbenah” diakses tgl 22 Oktober 2014, tersedia di http:// www.
Socialmasterpice.blogspot.com/2011/03/pierre-bourdieu-teori-sosial-berbenah.html?m=1.
Mangrara Banua Tongkonan,
diakses tgl 22 Oktober 2014, tersedia di http://www.
Perjalanantigawanita.wordpress.com/2009/04/03/mangrara-banua-tongkonan/
Seni bangun dan
perbedaan karakteristik diakses tgl 03
November 2014, tersedia di http://needmoreintelligent.blogspot.com/2013/04/seni-bangun-dan-perbedaan-karakteristik.html.
Filosofi tongkonan
rumah adat toraja diakses tgl 03 November 2014, tersedia di http://leezheek.blogspot.com/2012/11/filosofi-tongkonan-rumah-adat-toraja.html.
Pelestarian tongkonan
diakses tgl 06 November 2014, tersedia di
http://iaaipusat.wordpress.com/2012/05/14/pelestarian-tongkonan-antara-kenyataan-dan-harapan-studi-kasus-tongkonan-situs-kande-api/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar