Entri Populer

Entri Populer

Sabtu, 08 April 2017

PERAYAAN MANGRARA TONGKONAN MENURUT PERSPEKTIF BOURDIEU



PENDAHULUAN
            Budaya secara umum adalah  suatu kebiasaan bagi semua orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan tradisi-tradisi dalam jangka waktu yang sangat lama. Kebudayaan Mangrara Tongkonan atau syukuran atas selesainya rumah adat tongkonan merupakan suatu perayaan dimana setiap keluarga yang berasal dari satu garis keturunan mengadakan pertemuan bersama dengan tujuan mereka dapat mengenal satu dengan yang lain dan kembali mempererat hubungan keluarga yang suda jauh. Dari kebudayaan ini terdapat nilai seni yang akan dibahas.
Dari perayaan Mangrara Tongkonan ini penulis akan membahasnya dengan menggunakan perspektif Bourdieu yaitu melalui Praksis, Habitus, Arena, Kekerasan simbolis dan Reproduksi Sosial. Dalam upaya mencari relasi antara struktur obyektif yaitu kebudayaan dan agen yaitu individu, Pierre Bourdieu memproposisikan sebuah teori bagi analisis dialektik kehidupan praksis. Dua alat konseptual yang digunakan oleh Bourdieu adalah habitus dan arena yang ditopang oleh konsep tentang kekerasan simbolik dan Reproduksi Sosial, strategi dan perjuangan untuk mencapai kekuasaan simbolik dan material melalui beragam kapital yaitu ekonomi, budaya dan simbolik.
PEMBAHASAN
Nilai Estetika
Model sebuah rumah Tongkonan senantiasa mengikuti model desa, secara konsepsional harus bersegi empat. Struktur ruangan mengikut struktur makro-kosmos yang terdiri dari tiga lapisan benua, yakni bagian atas (Rattiangbanua), bagian tengah (kale banua) dan bagian bawah (Sulluk banua). Bagian atas digunakan sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka yang dianggap mempunyai nilai sacral seperti keris, parang, dan jimat.benda seperti ini disakralkan karena dipercaya untuk melindungi penghuni tongkonan dari gangguan apapun.  Atap Tongkonan terbuat dari bambu-bambu pilihan yang disusun tumpang tindih, dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat oleh tali bambu/rotan. Bamboo dianggap tahan lama dari semua bahan yang ada, karena zaman dulu juga belum memiliki atap seng akhirnya bamboo yang daji pilihan, dari susunan bamboo ini mebuat tongkonan lebih indah keliatan dan rapi. Fungsi dan susunan demikian untuk mencegah masuknya air hujan melalui celah-celah, dan sebagai lubang ventilasi. Susunan bambu ditaruh di atas kaso yang terdapat pada rangka atap. Susunan tarampak minimal 3 lapis, maksimal 7 lapis, arti dari susunan tiga sampai tujuh lapis adalah supaya keluarga bisa mengenal nenek moyangnya dari generasi ke tiga sampai generasi ke tujuh. setelah itu disusun hingga membentuk seperti perahu. Bagian tengah digunakan untuk tempat tinggal dan melakukan aktivitas di dalam rumah. Bagian tengah yang merupakan badan rumah ini berlantaikan papan kayu uru yang disusun di atas pembalokan lantai, memanjang sejajar balok utama. Dindingnya disusun dengan sambungan pada sisi-sisi papan. Dinding yang berfungsi sebagai rangka dinding yang memikul beban, terbuat dari bahan kayu uru atau kayu kecapi. Bagian tengah sebagai ruang tempat tinggal, dibagi pula atas tiga bilik yaitu bilik bagian depan disebut Tando', berfungsi sebagai tempat beristirahat, tempat tidur nenek, kakak dan anak laki-laki serta tempat mengadakan sesajen. Jendela pada ruang Tangdo berjumlah 2 buah, menghadap ke utara dan menan dakan bahwa orang toraja asalnya dari china yaitu dari sebelah utara tana toraja. Bagian tengah disebut Sali dibagi lagi menjadi dua bagian, yakni bagian timur tempat kegiatan sehari-hari dan sebagai dapur, ruang menerima tamu, ruang keluarga, dan kamar mandi. Di bagian barat digunakan tempat persemayaman jenazah pada waktu diadakan upacara kematian.
Bagian belakang disebut Sumbung yang digunakan sebagai tempat pengabdian dan tempat tidur kepala keluarga bersama anak-anak, khususnya anak gadis, serta untuk menyimpan benda-benda pusaka. Lantainya ditinggikan pertanda bahwa penghuni Tongkonan mempunyai kekuasaan dan derajat yang tinggi. Sumbung ini berada di bagian selatan, maksudnya anak-anak gadis dan anak kecil memerlukan pengawasan ketat, dengan perlindungan dari anak-anak laki-laki yang bertempat di ruang Tando. Bagian bawah yang merupakan kolong rumah merupakan tempat hewan peliharaan. Fondasinya menggunakan batuan gunung, diletakkan bebas di bawah Tongkonan, tanpa pengikat antara tanah, kolong dan fondasi itu sendiri. Secara umum tongkonan memiliki estetika tinggi seperti dari ukiran yang ada di dinding tongkonan.
Tongkonan dapat dilihat sebagai produk yang menampilkan nilai-nilai estetik, dengan bentuknya yang anggun disertai kekayaan ragam hias yang mengandung makna yang terkait dengan sistem budaya. Pada mulanya, orang Toraja hanya mengenal empat macam ukiran yang disebut Garonto Passura artinya dasar ukiran, antara lain pa'barre allo yaitu ukiran yang menyerupai matahari atau bulan, benda yang mulia di atas bumi berasal dari Sang Pencipta yang memberi hidup dan kehidupan bagi umatNya: pa' tedong ukiran yang menyerupai kepala kerbau, ukiran ini sebagai lambang kerja keras dan kemakmuran, oleh karenanya diletakkan pada tiang-tiang yang berdiri tegak sebagai tulang punggung bangunan, yang berarti bekerja adalah tulang punggung kehidupan; pa' manuk londong ukiran yang menyerupai ayam jantan, sebagai lambang dari norma, aturan yang berasal dari langit yang menata kehidupan manusia. Bersama-sama Pa'barre allo diletakkan di atas bagian depan Tongkonan, dan pa' sussuk yaitu ukiran yang menyerupai garis-garis lurus, sebagai lambang kebersamaan dan kesatuan dalam lingkup kerabat yang tergabung dalam kelompok Tongkonan. Ukiran ini diletakkan pada dinding bagian atas yang menghiasi ruangan. Selain motif-motif utama tersebut, ada pula motif lain yang juga memiliki makna. Motif pa'daun balu adalah daun sirih yang merupakan lambang penghormatan kepada dewa-dewa. Sirih dikalangan toraja dipercaya memiliki fungsi untuk terhindar dari penyakit dan juga berfungsi untuk menghindari sakit gigi. Motif pa' bua tina adalah lambang pohon waru yang merupakan hiasan dinding rumah sebagai lambang persatuan dalam keluarga. Pohon atau kayu menjadi bahan dari dari pembuatan tongkonan. Pa'sala'bi' dibungai berarti 'pagar' yang biasanya terdapat pada dinding dan pagar rumah bangsawan. Motif ini mengandung arti sebagai penangkal masuknya orang jahat dan mencegah penyakit sampar. Motif Pa' bunga menyerupai bunga yang melambangkan pentingnya pengetahuan bagi manusia. Pa' kangkung adalah ukiran yang menyerupai pucuk kangkung menghiasi rumah bangsawan, motif yang mengandung harapan agar senantiasa memperoleh rejeki sebagaimana kangkung yang selalu tumbuh subur di tempat berair. Pa' erong berarti peti mayat yang hanya digunakan untuk peti mayat keluarga bangsawan, yang menaruh harapan agar yang meninggal senantiasa memberi berkah kepada keluarga yang ditinggalkan. Pa 'bunga kaliki simbol bunga pepaya yang bermakna agar nasehat yang menyakitkan pun dapat membawa kebaikan dalam hidup. Pa' sisik bale lambang sisik ikan agar cita-cita yang tinggi dapat tercapai. Pa'kollong buku melambangkan leher merpati yang bermakna agar manusia dapat hidup bebas menentukan pilihannya. Motif Koyo adalah burung bangau lambang manusia yang penyabar. Pa'dara dena berarti dada burung pipit lambang keteguhan hati dan pendirian yang tetap.
Dari semua ukiran ini jika disatukan akan menjadi ukuran yang indah dan fungsinya memperindah tongkonan agar orang yang tinggal didalamnya merasakan sebuah kenyamanan, melihat situasi iklim di toraja yaitu daerah dingin untuk itu rumah tongkonan dibuat seakan-akan ruangannya keliata sesak, hanya duah jendelah yang ada. orang toraja percaya bahwa rumah tongkonan ini tempat dimana kita bisa merasakan kehangatan ketika tinggal didalamnya karena angin tidak terlalu banyak masuk dalam tongkonan.
Pandangan Bourdieu terhadap Mangrara Tongkonan
1.      Praksis
Melihat situasi dalam perayaan Mangrara Tongkonan banyak orang toraja secara tidak  sadar mengalami praksis dalam pelaksanaan ini, mereka dari dalam hati sudah terdorong untuk membawah sesuatu yang terbaik untuk dipersembahkan atau di korbankan. Ada hal terpenting ketika ada tamu yang membawa korban persembahan berupa babi dan kerbau, secara tidak sadar bagi yang melaksanakan perayaan ini, telah memiliki hutang yang mereka harus bayarkan nantinya. Melihat dari kacamata Bourdieu hal ini adalah sah namun ketika kita memahami tentang praksis yang terjadi dalam budaya ini secara tidak sadar bahwa mereka ingin menunjukkan bahwa dalam perayaan mangrara tongkonan keluarga inilah yang terbaik dari kerabat yang lainnya Dari situasi ini menimbulkan sebuah kesan bahwa melalui pemotongan Kerbau dan Babi yang sebanyak mungkin mereka dapat diakui statusnya dalam masyarakat. Sebenarnya proses perayaan ini menunjukkan adanya kegengsian dari kebarabat atau anggota keluarga yang mengadakan perayaan mangrara Tongkonan itu sendiri, untuk itu ada perasaan untuk membanggakan diri tetapi disisi lain memberikan sebuah nilai yang baik bahwa lewat perayaan mangrara Tongkonan dapat mempererat tali persaudaraan,  sekalipun keluarga yang jauh  dapat kembali bisa mengetahui garis keturunannya sampai nenek moyang dari tingkat ke-7. Keadaan ini yang mempererat hubungan kekerabatan orang toraja.
Upacara Mangrara Banua berfungsi untuk meresmikan rumah (Tongkonan) sebelum ditinggali. Dimulai oleh sambutan dari pemuka adat, upacara dilanjutkan dengan tari-tarian oleh para wanita Toraja yang diiringi dengan tabuhan gendang. Para penonton dari berbagai kalangan baik turis domestik maupun mancanegara pun tak berdiam diri. Mereka ikut menari untuk memeriahkan upacara Mangrara Buana ini. Tarian yang disebut dengan Tari Pagelu ini memang menjadi keriuhan tersendiri dalam upacara Mangrara Banua. Selain sebagai ungkapan syukur serta memohon agar Tongkonan diberikan berkah dan terhindar dari malapetaka, tarian Pagelu juga memiliki kisah tersendiri, dari tarian ini lewat gerakan tubuh dapat menunjukkan tentang kelas social dalam masyarakat, pada zaman dudlu ketika lewat gerakan tarian yang menyampaikan kegembiraan atas terlaksana sebuah perayaan tertentu. Ketika tangan di ayunkan keatas dan perlahan-lahan diturun kebawah itu menunjukkan pemberian berkat dari kelas menenga keatas kepada kelas bawah. jadi mereka menari tidak sembarang menari, pengiring yang digunakan yaitu alat music gendang yang dimainkan oleh tiga laki-laki dan setiap ketukan mengasilkan bunyi yang selaras dan indah di dengar membuat para penari lebih bersemangat dalam memperagakan gerakannya. tarian juga dalam perayaan Mangrara tongkonan sangat berperan penting sebagai alat untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang strata social dalam masyarakat, orang- orang yang duduk didalam Alang( lumbung ) dapat ma’toding ( memberikan saweran). Masyarakat yang menonton juga biasanya memberikan saweran dengan menyelipan sejumlah uang di rambut penari. Hasil saweran biasanya dikumpulkan untuk digunakan bagi keperluan adat. 

2.      Habitus
Melihat ke pemikiran Bourdieu tentang habitus didalam perayaan Mangrara Tongkonan sebenarnya yang mau di munculkan adalah keberadaan keluarga sebagai kelas social yang patut di hormati, ini menunjukkan betapa pentingnya tari-tarian dalam perayaan ini. Habitus juga sangat berperan penting untuk dapat memisahkan kelas social dalam masyarakat toraja oleh karena kita bisa mengamati sendiri sebagai pengkondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Disisi lain habitus memberikan kontribusi dengan kekerabatan dalam keluarga, mempererat tali persaudaraan seakan ada keterkaitan batin dalam keluarga itu sendiri.
3.      Arena
            Arena Upacara pun mencapai puncaknya dengan acara penyembelihan hewan sebagai pelengkap peresmian Tongkonan. Hewan-hewan yang disembelih biasanya berupa babi ataupun kerbau. Hewan-hewan tersebut dimasukan kedalam usungan bambu dan segera dibawa ke tengah arena upacara. Setelah dipotong, hewan-hewan tadi pun dibakar. Upacara pun diakhiri dengan makan bersama masyarakat sekitar seraya berdoa demi keselamatan Tongkonan serta penghuninya.
 Arena dalam Upacara Mangrara Banua Tongkonan memang menjadi sesuatu yang menarik dan selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat sekitar dan masyarakat luar Toraja. Sebagai salah satu kebudayaan Indonesia, Upacara Mangrara Banua ini terus dipertahankan oleh masyarakat Tana Toraja. Hal ini merupakan juga sebagai bentuk penghormatan mereka terhadap para leluhur. Kalau kita melihat dari pemikiran Bourdieu Dunia sosial terbagi dalam beberapa arena atau ranah atau wilayah yang berbeda satu sama lain. Artinya masing-masing arena degerakkan oleh mekanisme yang khas atau berbeda satu sama lain dari dalam tubuhnya, namun arena-arena saling mempengaruhi satu sama lain. Arena, menurut Bourdieu, adalah wilayah terbatas yang di dalamnya terdapat perjuangan atau manuver yang memperebutkan sember atau pertaruhan dan akses terbatas. Arena adalah taruhan yang dipertaruhkan seperti gaya hidup, perumahan, pekerjaan, kekuasaan (politik), intelektual, kelas sosial, ekonomi, prestise. Arena dapat juga diartikan sebagai sebuah permainan dimana di dalamnya capital dan habitus harus bermain. Arena menjadi penentu capital dan berlakunya sebuah habitus. Setelah melihat pemikiran Bourdieu sungguh menjadi hal menarik kita lihat dalam perayaan Mangrara Tongkonan, kerbau dan babi yang di sembelih menjadi pertarungan yang luar biasa, keluarga yang mengadakan perayaan ini tidak pikir panjang untuk memberikan yang terbaik dan disini terjadi pertarungan antara keluarga dalam satu rumpun itu sendiri. Persaingan terjadi dan untuk mengetahui persembahan siapa yang lebih baik, diadakanlah arena atau pertarungan antar kerbau, disini juga banyak orang toraja menjadikan ajang ini sebagai pertarungan untuk main judi, tak tanggung-tanggung mereka mengeluarkan uang yang tidak sedikit jumlah dalam menentukan kerbau siapa yang layak di katakan sebagai yang terbaik. Dan menjadi sesuatu yang menarik ketika kerbau yang menang dalam pertarungan ini tidak jadi disembeli tapi akan dijual karena nilai ekonominya akan mahal dan hasil dari penjualan itu akan digunakan untuk keperluan dalam Tongkonan itu sendiri.
Melihat dari pandangan Bourdieu Arena seperti ini menjadi permainan yang menarik terhadap budaya tertentu seperti budaya toraja, tetapi kalau dari kacamata kita, arena ini adalah hal yang dapat menimbulkan perpecahan oleh karena didalamnya terjadi permainan judi, dan permainan judi sendiri itu rentan dengan konflik, orang toraja percaya bahwa judi merupakan warisan nenek moyang mereka dan akan membawah kepada kekayaan secara mudah tetapi dilain sisih akan membuat mereka jatuh miskin tapi mereka memercayai bahwa itu yang ditakdirkan Tuhan untuk mereka .arena seperti ini juga secara tidak langsung sudah mendidik generasi mudah untuk melakukan hal yang sama, seperti terbiasa dalam permainan judi dan lain-lain, dan hal ini berakibat pada kekerasan simbolik dan reproduksi social.
  1. Kekerasan simbolik dan reproduksi sosial
            Landasan teoretis atas perbedaan kelas dalam status social  di masyarakat toraja dalam acara perayaan Mangrara Tongkonan akan menggunakan teori kekerasan simbolis dan reproduksi sosial yang dikemukakan Pierre Bourdieu. Asumsi dasar Bourdieu tentang kekerasan simbolis adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal ini dialami sebagai sesuatu yang sah. Legitimasinya meneguhkan relasi kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Selama dia diterima sebagai sesuatu yang sah, kebudayaan memperkuat dirinya melalui relasi kekuasaan tersebut, memberikan kontribusi kepada reproduksi sistematis mereka.
Dalam masyarakat toraja, mereka yang status sosialnya rendah tidak menyadari bahwa sesuatu yang terjadi pada mereka merupakan kekerasan simbolis karena selama ini diterima sebagai sesuatu yang sah. Kondisi seperti ini Bourdieu menyebutnya dengan istilah habitus. Secara sederhana habitus mengacu pada kondisi situasi yang tipikal dan habitual. Haryatmoko (2003) menjelaskan bahwa habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam suatu lingkup social tertentu. Haryatmoko (2003) menjelaskan pemikiran Bourdieu bahwa dominasi kaum bangsawan sebenarnya merupakan kekerasan yang disebut kekerasan simbolik. Kekerasan ini bahkan  kelihatan atau dirasakan sebagai kekerasan simbolis, hanya saja dianggap sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar. Perlu untuk diketahui bahwa terjadinya perbedaan strata social ini oleh karena pemegang modal atau orang yang memiliki harta yang banyak ketika zaman mereka seperti memiliki tana, hewan peliharaan (kerbau,babi dll) memiutangi kelas pekerja ( kebun, sawah dll.) oleh karena kelas pekerja ini tidak bisa membayar hutangnya akhirnya mereka mengabdikan hidupnya kepada pemegang modal itu, setiap pekerjaan apapun mereka harus lakukan tanpa harus membanta, disinilah terjadi kekerasan simbolik tetapi masyarakat saat itu menganggapnya sah.
Akibat dari kejadian seperti ini membuat masyarakat toraja yang sebenarnya hidupnya sudah mapan atau memiliki modal atau kekayaan yang sama dengan pemegang modal yang duluhnya menguasai hidup nenek moyang mereka bahkan sudah melebihi kekayaan dari tuannya tetapi tetap saja tidak berubah status atau strata sosialnya dalam masyarakat toraja. Terjadinya Reproduksi social ketika Kejadian inipun terbawah kedalam perayaan Mangrara Tongkonan, mereka yang berasal dari kelas hambah ini meskipun sudah memiliki segalanya melalui kekayaan mereka tetapi tradisi yang terjadi  sampai saat ini  adalah mereka tidak diperkenankan untuk duduk di atas lumbung. Lumbung adalah tempat dimana keturunan bangsawan boleh duduk diatasnya, sekalipun kelas keturunan bansawan  saat ini memiliki ekonomi yang pas-pasan saja, Tetapi eksistensinya sebagai keturunan bangsawan tidak berubah. Didalam Kekerasan simbolik dan reproduksi social ini berperan penting bagi keturunan bangsawan untuk menjalankan apa yang mereka inginkan dalam perayaan mangrara Tongkonan, dengan status yang mereka miliki memunculkan sikap bangga diri atau sombong terhadapa masyarakat yang ada disekitar mereka.
Menurut Bourdieu disini secara tidak langsung terjadi kekerasan simbolis dan reproduksi sosial dimana keturunan hambah tidak bisa menaikkan derajat mereka atau menyetarahkan kehidupan mereka seperti keturunan bangsawan atau pemilik modal. Dan apapun yang terjadi mereka harus mematuhi peraturan yang kasat mata peraturannya tidak kelihatan tetapi hanya bisa dirasakan. Modal simbolik adalah setiap spesis modal yang dipandang melalui skema klasifikasi, yang ditanamkan secara sosial. Ketika keturunan bangsawan ditoraja atau pemilik modal simbolik dan penguasa menggunakan kekuatannya, ini akan berhadapan dengan agen yang memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Maka, hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik (symbolic violence). Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategori-kategori pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi, yang kemudian menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang adil. Ini adalah penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung mengulang struktur-struktur tindakan dari pihak yang dominan.  
Kesimpulan
Dalam kehidupan masyarakat toraja, sangat kental dengan keadaan seperti yang disampaikan Bordieu lewat teori yang disampainya. Melalui praksis itu sendiri secara tidak langsung lewat mangrara tongkonan, suatu keluarga di toraja ingin memperlihatkan kekayaan lewat banyaknya hewan yang disembeli. Habitus juga memperlihatkan bagaimana orang toraja itu masi tetap dalam status mereka melalui strata social mereka. Mrerka ingin di hormati dengan keadaan strata social mereka. Seperti praksis arena juga memperlihatkan bahwa orang toraja ingin menunjukkan kekayaan mereka lewat menyembeli hewan yang banyak dan juga biasa dilihat dari keindahan rumah tongkonan yang dirayakan( disyukuri)
Dalam budaya mangrara tongkonan Pihak yang terdominasi kemudian memandang posisi pihak yang dominan ini sebagai yang benar ini menimbulkan kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik dalam arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan memaksakan momok legitimasi pada tatanan social dan hal ini tidak akan hilang dari tatanan budaya mangrara tongkonan.
Namun dari semua pandangan Bourdiue satu hal yang dapat diteladani dari kehidupan orang toraja terlebih khusus dalam mangrara tongkonan adalah ada kerja sama, gotong royong, tolong menolong, saling menghormati satu sama lain dan juga antar kelompok..

DAFTAR PUSTAKA

Jenkins, Richard. 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. (terjemahan Nurhadi dari Pierre Bourdieu, 1992). Kreasi Wacana. Yogjakarta.

Pierre Bourdieu “Teori Sosial Berbenah” diakses tgl 22 Oktober 2014, tersedia di http:// www. Socialmasterpice.blogspot.com/2011/03/pierre-bourdieu-teori-sosial-berbenah.html?m=1.

Mangrara Banua Tongkonan, diakses tgl 22 Oktober 2014, tersedia di http://www. Perjalanantigawanita.wordpress.com/2009/04/03/mangrara-banua-tongkonan/

Seni bangun dan perbedaan karakteristik   diakses tgl 03 November 2014, tersedia di http://needmoreintelligent.blogspot.com/2013/04/seni-bangun-dan-perbedaan-karakteristik.html.
Filosofi tongkonan rumah adat toraja diakses tgl 03 November 2014, tersedia di http://leezheek.blogspot.com/2012/11/filosofi-tongkonan-rumah-adat-toraja.html.
Pelestarian tongkonan diakses tgl 06 November 2014, tersedia di http://iaaipusat.wordpress.com/2012/05/14/pelestarian-tongkonan-antara-kenyataan-dan-harapan-studi-kasus-tongkonan-situs-kande-api/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Gabung TOMASJEK

Cara mendownload TOMASJEK: Silahkan masuk di Play Store lalu kemudian ketik TOMASJEK di pencarian setelah itu tekan instal dan tung...